Masjid dengan luas 150 meter persegi
ini dahulu digunakan sebagai tempat syiar Islam yang dilakukan Sunan Gunung
Jati bersama pengikut setianya. Uniknya, masjid yang juga dikenal sebagai
tempat pengesahan Walisongo ini memiliki puluhan mangkuk atau piring bercorak
menarik yang menempel pada dinding-dinding ruangan masjid. Ini merupakan
pengaruh bangunan budaya China dan Eropa, ada sebuah legenda bahwa keramik
Tiongkok itu merupakan bagian dari hadiah kaisar China ketika Sunan Gunung Jati
menikahi putri sang kaisar yang bernama Tan Hong Tien Nio. Adanya hubungan
dengan Tiongkok sejak zaman Wali Songo itu juga ditunjukkan dengan keberadaan
Vihara Dewi Welas Asih, sebuah wihara kuno dengan dominasi warna merah yang
berdiri tak jauh dari masjid. bukan
hanya itu selain dinding yang dihias dengan mangkuk dan piring piring menarik,
masjid merah panjunan juga mempunyai sajadah yang berwarna merah sesuai dengan
nama masjid itu sendiri. Hal ini menjadi keunikan tersendiri bagi bangunan
masjid.
Keunikan
lain dari struktur bangunan adalah bagian atap yang menggunakan genteng tanah warna hitam
dan hingga kini masih dijaga keasliannya. Namun sayangnya, beberapa keramik
yang ada di tembok pagar ada yang sudah dicukil oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab, terutama yang ada pada bagian pagar temboknya.
Dilihat
dari bangunannya, masjid Merah Panjunan memiliki gaya perpaduan antara budaya
dan agama yaitu Hindu dan Budha karena pada saat itu agama Islam belum terlalu
tersebar. Selain itu dipengaruhi oleh gaya Jawa dan Cina. Berbagai perpaduan
gaya tersebut menjadikan masjid Merah Panjunan ini sangat unik dan menjadi
sebuah daya tarik tersendiri bagi wisatawan.
Terdapat sebuah pagar yang
mengelilingi masjid ini yang terbuat dari susunan bata merah. Pagar tersebut
dibangun pada tahun 1949 oleh Pnembahan Ratu yang juga merupakan seorang cicit
dari Sunan Gunung Jati. Sama halnya bebarengan dengan pembangunan pintu masuk
dengan adanya bangunan candi Bentar dan pintu panel berukir dari jati. Kemudian
pada tahun 1978 dibangun menara yang berada di halaman depan sebelah selatan
masjid oleh beberapa masyarakat disana.
Masjid Merah Panjunan juga pernah
mengalami beberapa kali renovasi dan terakhir dilaksanakan pada tahun 2001
hingga 2002 oleh dinas kebudayaan dan pariwisata provinsi Jawa Barat. Renovasi
tersebut dilakukan dalam penggantian atap sirap masjid Merah Panjunan. Saat ini
masjid tersebut termasuk bangunan dengan ukurannya kecil. Jarak dari atap dan
lantai masjid seperti halnya rumah-rumah tua yang berada di Jawa. Pada bagian
bangunan utama masjid berukuran 25×25 meter dan juga halaman masjid tersebut
tidak terlalu luas. Lantai keramik masjid pun berwarna merah marun serta
gerbang dan dinding juga menggunakan bahan batu bata. Hal tersebut sangat
jarang digunakan karena biasanya bahan batu bata digunakan untuk membangun
candi. Masjid ini juga disokong dengan tiang penyangga yang berjumlah 17
dengan setiap ujungnya terdapat bentuk bintang delapan bunga. Tak hanya itu
saja, mesipun masjid Merah Panjunan ini tidak tergolong megah, namun bagian
interior masjid sangat menarik berhias berbagai hiasan seperti salah satunya
piring keramik yang menempel di dinding masjid.
Menurut Nasiruddin, pengelola Masjid Panjunan, masjid yang memiliki dua ruangan ini hingga sekarang digunakan sebagai tempat ibadah. Masjid ini hanya digunakan untuk salat sehari-hari seperti shalat shubuh, dzuhur, ashar, maghrib, dan juga isya yang dilakukan secara berjamaah.Satu dari dua ruangan hanya dibuka atau digunakan satu kali yakni pada saat peringatan Maulid Nabi, Idul Fitri, dan Idul Adha.
Meski masjid ini terletak di permukiman keturunan Arab, pengaruh budaya Arab terlihat sedikit. Konon, hal ini dilakukan sebagai bentuk pendekatan kultural yang digunakan dalam penyebaran agama Islam. Hingga kini, Masjid Panjunan masuk dalam cagar budaya yang dilindungi dan terus dirawat keasliannya.